May 3, 2009

Facebook, Baik atau Buruk


Siapa tak kenal facebook ? Sebuah jejaring sosial yang sangat banyak digandrungi warga dunia. Sebuah fenomena yang menyerupai magnet raksasa yang menarik besi-besi (dalam hal ini manusia) untuk terus duduk mengutak-atik isinya. Tak heran, baru-baru ini terdengar kabar bahwa seorang karywan di Swiss dipecat karena facebook, yang dalam kasus ini membuat si karywan nekat bolos dengan berpura-pura sakit demi memelototi profilnya ataupun profil teman-temannya.

Aneh ? Sebenarnya tidak juga. Dari pengamatan yang saya lakukan terhadap teman-teman sekolah, saya berhasil menarik sebuah kesimpulan di mana terdapat kcenderungan yang besar dari teman-teman saya tadi untuk terus terhubung dengan si magnet tadi. Bahkan, seorang teman membukanya pada saat ujian nasional !

Fenomena facebook ini sendiri tidak hanya terbatas pada remaja dan orang kantoran saja. Anak-anak yang seharusnya masih menonton kartun dan bermain bersama teman-temannya terpengaruh untuk ikut berpartisipasi dalam “kumpulan teman-teman maya”.

Kita semua tahu, dewasa ini, dunia kita adalah dunia komputer. Sangat kecil persentase kegiatan yang dilakukan tanpa menggunakan komputer. Kemudahan akses internet makin memudahkan pertumbuhan pemakaian internet di bumi Indonesia. Hal yang tentu saja memudahkan orang-orang untuk selalu membuka jejaring sosial tadi. Yang lebih menyentakkan lagi, sebuah iklan di televisi yang mencetuskan “Anti Mati Gaya”, seakan menegaskan sebuah pernyataan “Bukalah facebook di manapun Anda berada. Jangan sungkan-sungkan !!”

Pesan tersebut sebenarnya merupakan terompet perang yang baru saja dibunyinkan dalam rangka memberantas gaptek. Tapi jangan lengah. Pesan tadi sebenarnya adalah seekor ular berkepala dua. Di satu sisi membawa berkah dan kemajuan, di sisi lain membawa kehancuran dan malapetaka. Tidak percaya ? Coba Anda simak kembali dua contoh pada awal bagian. Seorang karyawan rela meninggalkan kewajibannya hanya demi mengupdate statusnya dan duduk memperhatikan perkembangan teman-temannya di jejaring sosial tadi. Akibat yang diterima tidak main-main. Dipecat.

Kalau kejadian yang terjadi sudah mencapa tahap tersebut di atas, kita patut waspada. Betapa tidak ? Coba perhatikan “karena facebook, seorang ayah gantung diri. Kenapa ? Dia tidak dapat memberi anaknya makan karena pekerjaanya sudah lenyap.” Ironis bukan ?

Perhatikan juga kasus di mana anak-anak usia SD mengakses facebook sampai lupa makan, tidur, dan lain-lain. Hal yang tentu saja dapat mempengaruhi proses perkembangan mental anak tersebut.

Pada akhirnya, semua keputusan berada di tangan Anda. Anda lah yang menentukan ke mana arah penggunaan Anda ? Apakah mengarah pada sebuah kecanduan akut yang tak tertolong ? Atau hanya sebatas pengguna yang lebih mempertimbangkan sisi humanis dari jejaring sosial yang diikutinya ?

Namun di atas semuanya, saya ingin membeberkan saran yang mungkin bisa berguna bagi Anda. Cobalah untuk bersikap normal dalam menggunakan jejaring sosial. Ingatlah skala prioritas (dalam hal ini sp untuk pekerjaan). Niscaya penggunaan berlebih bisa dihindari.

March 20, 2009

Ketika Secercah Harapan Itu Sirna

Indonesia adalah sebuah negara dengan wilayah yang sangat luas. Sumber daya alamnya melimpah ruah, letaknya strategis, dan mempunyai beraneka ragam kebudayaan. Siapa yang tidak mengetahui hal tersebut ? Semua orang tentu tahu. Seiring dengan kenyataan tadi, tentu saja ekspetasi yang muncul dari orang-orang yang mengetahui hal tersebut adalah Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar, cerdas, dan mampu berdikari. Setidaknya hal yang sama juga diimpikan para pendiri bangsa kita.

Nah, kalau kita tilik lebih dalam lagi, ternyata, ekspetasi-ekspetasi tadi ternyata terlalu berlebihan. Bukannya mengada-ada, namun fakta yang tersedia di lapangan masih jauh dari harapan. Anda ingin bukti ? Lihat saja antrian panjang pembeli minyak tanah, lihat kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar (bahkan akhir-akhir ini merambah ke pelajar wanita), lihat praktek-praktek korupsi yang dilakukan anggota legislatif pilihan kita, lihat, lihat rendahnya rasa nasionalisme masyarakat di negeri ini, lihat rendahnya toleransi umat beragama, lihat nihilnya prestasi kita di berbagai bidang (terkecuali bidang peranakan), dan yang paling update lihat antrian panjang pasien Ponari si bocah sakti.

Pertanyaannya, apakah sederetan lihat tadi bisa mewakili harapan kita terhadap bangsa ini ? Ataupun harapan para pendiri bangsa ini ? Jawabannya TIDAK. Nah, bagian terpenting yang harus kita pecahkan adalah apa sebenarnya akar dari semua ini ? Apakah benar semuanya telah membentuk sebuah lingkaran setan yang tak akan bisa terputus oleh sebuah reaksi adisi (maklum baru ujian kimia, hehe) ?

Permasalahan yang menimpa negara ini sudah begitu kompleks. Seperti sebuah benang layangan yang kusut. Mungkin penyebab utamanya adalah otak manusia Indonesia yang sudah kehilangan sebuah bahan bakar utama yang menjadi esensi kehidupan, harapan. Harapan sama dengan visi dan misi, kemauan. Coba bayangkan tubuh Anda berjalan menyisir keheningan malam, tapi satu hal yang Anda lewatkan, Anda tidak tahu ke mana tujuan Anda berjalan. Semuanya bersumber dari kombinasi visi dan misi. Namun satu hal yang saya tangkap dari lingkungansekitar saya dengan memberikan pertanyaan kepada teman-teman sekitar, bagaimana harapanmu terhadap kemajuan bangsa ini? Jawaban mereka sebagian besar berkisar di angka 10-20 %. Coba pikir, bagaimana mau bekerja kalau kemauan saja tidak ada. Omong kosong.

Hal lain yang juga patut disoroti adalah rendahnya rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Apa penyebabnya ? Mungkin penyebab utamanya adalah lingkungan itu sendiri. Kita ambil sebuah contoh. Sekolah kita yang tercinta, SMA Santo Thomas 1 Medan saja mengadakan upacara satu bulan sekali. Padahal upacara itu sendiri adalah bagian terpenting dalam memupuk rasa cinta tanah air. Apa hasilnya ? Fakta membuktikan bahwa tidak adanya rasa cinta tanah air tadi menimbulkan kecintaan yang sangat berlebih terhadap kelompoknya sendiri, terlebih etnis, yang menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok kecil dalam masyarakat. Cinta kelompok ini lantas menimbulkan rasa harus mengembangkan kelompok, bukannya mengembangkan negara. Akibat yang timbul adalah rasa lepas tangan dan berlanjut pada pelontaran ejekan kepada pemerintah.

Namun camkan satu hal jika Anda ingin mencerca bangsa ini. Tanya 1000 kali dalam otak Anda yang sangat cerdas itu kata-kata dari JFK, Apa yang sudah saya berikan kepada bangsa ini ? Apabila jawabannya tidak ada, sebaiknya Anda diam saja mengunci mulut besar Anda. Pengecualian jika Anda sudah pernah berjasa mengharumkan negara ini dari bidang olahraga,(mungkin Anda adalah seorang pemain di liga Inggris) atau dari bidang akademis (mungkin Anda adalah juara olimpiade internasional). Coba konversikan energi yang akan Anda gunakan untuk mengumpat tadi menjadi energi untuk membangun sebuah harapan. Karena sebuah pekerjaan bisa dimulai kalau ada kemauan dan tekat. Tanpa hal tersebut, mungkin hidup Anda tidak akan beda seperti orang-orang yang sering Anda umpat sebagai koruptor, penghianat, pembunuh, dsb. Dan jika sedah kehilangan harapan, mungkin semuanya akan berakhir di rumah Ponari, si bocah sakti.

Dunia Panggung Sandiwara


Semua orang pasti pernah mendengar frasa di atas. Ya, bagi para pencinta God Bless atau mungkin hanya sekedar mendengar, kata-kata tersebut tak terasa asing lagi. Sebuah lagu yang menggambarkan kehidupan manusia di dunia. Di tengah sebuah cerita, atau mungkin lebih tepat disebut drama.

Yakinkah dengan Anda dengan hal itu ? Yakinkah bahwa dalam hidup ini, kita hanya memainkan sebuah peran. Atau mungkin Anda malah balik bertanya “Bisakah saya memainkan peran lain, karena saya sudah bosan memainkan peran ini”. Drama. Sebuah karya yang memiliki alur cerita yang jelas dan seorang sutradara sebagai pengatur jalannya cerita, dilengkapi setting dan penokohan serta dialog antarpemain. Semuanya terasa sudah diatur. Dari semuanya itu, mungkin pertanyaan terbesarnya adalah “Mengapa kita bersandiwara?”

Tapi kita teliti, sebuah drama memiliki sebuah alur cerita yang sudah diketahui oleh para pemainnya. Coba kita kembali pada kehidupan kita. Tahukah Anda alur kehidupan Anda ?. Bagaimana jalan cerita kisah Anda di kemudian hari ?

Anda mungkin sering memimpikan untuk memiliki istri yang cantik, atau menjadi serorang kosmonot yang disegani atau menjadi seorang presiden, atau hanya menjadi seorang yang kompeten terhadap kehidupan. Bisakah kita melihat kekonkretannya ?

Orang bijak berkata “Induk dari segala permasalahan adalah diri kita sendiri”. Seandainya.hal tersebut benar, maka jawaban segala permasalahn tadi ada dalam diri kita. Back to nature. Mungkin kata itu yang paling cocok.

Mungkin saat ini, Anda kehillangan alur Anda, sehingga semuanya terasa so unreachable.
Kalau memang itu kejadiannya, coba Anda ambil kayu, lalu pukul kepala Anda dengan kayu tersebut. Mungkin kayu tersebut dapat mengembalikan kembali alur Anda, karena di dalam dunia ini tidak ada yang tak mungkin. Hanya mungkin belum waktunya. Layaknya sebuah pementasan, setiap dialog mempunyai waktu tertentu, bukannya diisi dengan dialog tertawa atau menangiis terus-menerus.

Jadi, mulai sekarang, yakinkan diri Anda bahwa Anda lah sutradara dari drama Anda tadi. Pintar-pintarlah membagi peran dan jangan mementaskan sebuah monolog. Dan ingatlah bahwa sandiwara atau drama kita adalah nadi dari bumi. Tanpa adanya mereka tadi, mungkin Anda lebih memutuskan untuk tinggal di bulan. Tetaplah berjalan dan ingatlah poinnya “Mengapa kita bersandiwara” .

Ways To Say It

Pernahkah dalam hidupmu menemukan sebuah celah waktu, di mana kamu diharuskan untuk mengatakan sesuatu yang mungkin bagimu sangat sulit untuk diungkapkan ? Pernahkah kamu merasa bahwa kamu telah melewatkan sebuah momen sangat tepat untuk mengungkapkan semuanya ? Pernahkah kamu menyadari bahwa semuanya terasa sia-sia belaka dan kemudian meminta untuk bisa memutar kembali waktu ?

Ya, begitu banyak pertanyaan yang muncul dari benak kita jika kita kembali pada kenyataan bahwa manusia sesungguhnya hanyalah makhluk lemah yang dihadapkan pada berbagai realita hidup yang kadang terasa sangat membebani dirinya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan di atas pasti sangat dekat dengan kehidupan kita, sehingga dapat disimpulkan bahwa jawabannya pasti ada dalam kehidupan itu sendiri. Jawaban yang kemungkinan besar semuanya terisi “ya” pada sebagian orang, atau mungkin “tidak sama sekali” pada sebagian yang lain. Orang-orang seperti ini mungkin bukanlah orang yang sesungguhnya, karena mereka tak pernah melakukan kesalahan yang membuat mereka memohon untuk dapat kembali lagi. Atau mungkin mereka sudah cukup puas dengan hasil yang mereka raih selama ini.

Dalam hidup, pilihan dan keputusan selalu ada. Terkadang mereka berasal dari keinginan kita sendiri. Mungkin suatu saat, kamu melihat ada seseorang yang menurutmu istimewa. Dan berlanjut pada sebuah hasrat untuk lebih mengenal figur yang istimewa tadi. Nah, disinilah pilihan-pilihan tersebut bertebaran. Mungkin kamu merasa bahwa dirimu belum cukup umur untuk mengambil tindakan lanjutan. Atau mungkin muncul pemikiran lain yang menganggap bahwa semuanya itu akan menjadi sebuah debu yang akan hilang ditiup angina entah ke mana, yang berujung pada sebuah kesia-siaan belaka. Atau muncul pikiran lain yang menganggap bahwa dirimu tidak mampu melakukannya.

Satu hal yang perlu kamu ketahui, semuanya itu hanyalah rekayasa dari alam bawah sadarmu yang paling penakut yang betujuan untuk menggagalkan rencana-rencana brilian tadi. Jika hal seperti ini terjadi, coba kembali pada dirimu sendiri. Berikan feedback pada abs mu yang paling penakut tadi, yang kira-kira berisi penyanggahan atas ketidakmampuanmu dalam melakukan hal tersebut. Coba tanya “Apa salahnya mencoba?” Atau pertanyaan lain “Bagaimana mengetahui peluang robohnya sebuah gedung kalau batu pondasinya saja belum tertanam?” Atau “Bagaimana bisa melihat secangkir the terseduh hangat kalau tidak kita yang menyeduhnya?”

Pertanyaan-pertanyaan tadi mungkin saja akan mengembalikan akal sehatmu dan dia mungkin akan berkata, “Benar juga ya. Tidak mungkin bisa melihat sebuah gedung roboh kalau gedung tersebut belum dibangun. Mustahil !”

Dan kita juga tahu bahwa kehidupan berjalan bagai sebuah jam raksasa. Sekali jarum detik berjalan, tidak akan pernah kembali ke posisinya semula. Apapun yang sudah kau lakukan, tak mungkin lagi me-reverse-nya ke keadaan semula. Jadi, sebelum bertindak, sebaiknya kamu memikirkan segala akibat yang akan timbul pada akhirnya nanti. Dan ingat untuk selalu bertindak selayaknya orang bijak. Gunakan filosofi yang mungkin sudah kamu anut sejak lama. Dan yang paling penting, lakukan semuanya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Mungkin semua tulisan ini menjadikan saya seperti seorang yang sangat dahsyat dalam hal ungkap-mengungkap. Tapi percayalah bahwa lebih mudah pekerjaan yang dilakoni oleh seorang sutradara daripada aktor yang memainkannya.

Perut Bumi

Suatu hari bumi mengeluh kepada bulan. ”Bulan, bagaimana menurutmu rupaku sekarang ?”

“Kau tampak tua dan lelah. Apa yang terjadi ?”

“Aku sudah lelah dengan hidup yang kujalani. Akhir–akhir ini, setiap jengkal tubuhku
habis tercabik-cabik oleh dentuman bom dan senapan mesin para penghuniku. Mereka seperti hewan yang tak berotak. Mereka saling menghabisi. Tolol, goblok, entah apa yang mereka pikirkan.”

“Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana?”

“Entahlah. Aku pun bingung. Hanya karena sebuah ideologi mereka sanggup menghabisi satu sama lain. Apa ya namanya? Oh ya, zionisme. Akhir-akhir ini kata itu selalu melekat di mimpiku. Membayangkannya membuatku tak bisa tidur. Kata yang memuakkan.”

“Apa sebenarnya zionisme itu?”

“Ideologi gila yang dicetuskan juga oleh orang gila. Aku sangat bingung jadinya. Mereka berencana melakukan hal yang aneh. Menyatukan sebuah etnis asli yang sangat pure.Emang mereka pikir kebun binatang, di mana hewan-hewan disatukan di satu tempat agar tak saling memangsa.”

“Tapi orang-orang tadi tidak berperang sendiri kan ?”

“Di dalam sana juga ada sebuah daerah. Palestina. Ya, Palestina. Mereka yang melayani negara zion tadi berperang.”

“Itu artinya yang bodoh bukan hanya zion, namun Palestina tadi juga bodoh.”

“Kenapa mereka bodoh. Mereka hanya ingin mendapat pengakuan atas wilayah mereka. Tampaknya hal yang mereka lakukan sudah benar.”

“Kau yakin sudah benar ? Setahuku, orang-orang di perutmu tadi sudah lama berperang.”

“Memang benar. Sejak zion tadi berdiri, perang terus bermunculan. Bahkan menimbulkan isu perang Islam-Zion. Mereka mulai membawa nama yang sacral itu ke dalam masalah mereka. Padahal awal segalanya adalah masalah wilayah.”

“Jadi, menurutmu siapa yang bodoh ?”

“Baiklah. Aku akan menurutimu. Mereka semua bodoh. Seharusnya mereka berhenti saja. Tak tahukah mereka bahwa aku sudah sangat lelah menampung kotoran mereka. Masih mending kalau mereka tahu berterima kasih. Tapi tampaknya sebaliknya. Mereka malah menghujani perutku dengan peluru, menghabisi alam perutku, memenuhi rongga tenggorokanku dengan gas-gas mereka yang beracun. Perih. Padahal mereka sudah pernah kuberi peringatan.Dengan amanat dari bos besar, kuciptakan gelombang yang sangat besar di wilayah bawah tubuhku. Tsunami. Tsunami namanya. Aku sangat senang menghadiahi mereka dengan nama itu. Sekedar memberi tahu bahwa aku sudah lelah dengan tingkh mereka. Aku sudah tidak sabar menunggu perintah selanjutnya dari bos besar. Dan aku harap perintah itu adalah mengosongkan perutku sampai isinya habis.”

Spongebob's Way

Banyak orang mengatakan zaman sekarang zaman edan. Kejahatan dimana-mana. Korupsi dianggap wajar. Mencuri dianggap lumrah. Semua serba diputarbalikkan. Karenanya, banyak orang yang saling curiga, saling dengki terhadap kesuksesan yang lain, saling sikut demi keberhasilan individu. Ujung-ujungnya sikap apatis yang timbul.

Bosan dengan keadaan yang seperti ini ? Pasti bosan. Saya juga bosan. Pasti kita terus bertanya “hal apa yang bisa mengakhiri semua ini.”

Mungkin pertanyaan itu bisa dijawab dengan menonton Spongebob Squarepants. Karakter yang satu ini sangat digemari di negeri asalnya. Bahkan di berbagai penjuru dunia.

Spongebob ? Satu pertanyaan yang timbul dari benak kita adalah kenapa banyak orang yang menyenangi karakter yang satu ini. Padahal tokoh ini adalah tokoh yang aneh, konyol, dan apabila digabung dengan temannya, Patrick, keduanya akan menjadi bodoh yang absolut.

Spongebob memiliki aura kekanak-kanakan yang tinggi. Mungkin karena acara ini awalnya ditujukan kepada anak-anak. Lantas, kenapa banyak orang dewasa di Amerika gemar menonton acara ini ?

Satu hal yang pasti, kita telah melewatkan bagian terpenting dari karakter Spongbob tersebut. Coba lihat kedisiplinannya. Spongebob tak pernah sekalipun sudi untuk terlambat masuk kerja. Sedikit saja terlambat, dia akan sangat menyesal, bahkan menangis tersedu-sedu. Meskipun dia harus dibangunkan oleh jam wekernya yang sangat besar. Coba lihat lagi kesetiakawannya. Dia punya sahabat karib, Patrick, yang notabene adalah seorang yang sangat “aneh”.Bahkan dalam sebuah buku,( buku bahasa Inggris kelas 3 untuk anak Stosa, hehe) Patrick dideskripsikan sebagai “the dumbest creature under the sea”. Walaupun sahabatnya ini dungu, dia tetap menghormatinya sebagai seorang teman. Dia tidak pernah mendiskreditkannya ataupun menghinanya. Selalu menemaninya dalam susah dan senang.

Coba lihat kepolosannya. Bahkan akibat dari kepolosannya, dia sering dibodoh-bodohi oleh Squidward, tetangganya dan Mr. Krab, bosnya. Hal yang paling parah pada saat Spongebob ditipu oleh Squidward tentang pie yang berisi bom. Coba lihat ketulusannya. Sekalipun dia tidak pernah meminta pamrih dari siapapun yang pernah ditolongnya. Bahkan di tempat kerjanya, dia sering memberi gajinya kepada bosnya. Coba lihat loyalitasnya. Dia sangat setia pada Krusty Krab, tempatnya bekerja. Walaupun sering mendapat ancaman dari Plankton, dia dengan sigap selalu melindungi tempat kerjanya tersebut.

Hal-hal tersebut di atas lah yang mungkin menjadi alasan banyak orang menggemari karakter yang satu ini. Hal-hal yang mungkin sering kita lewatkan pada saat menonton acara ini. Mungkin banyak orang sudah bosan dengan realita yang sekarang terjadi, dan lantas mulai mencari pelarian. Dan tampaknya jalan pikiran Spongebob ini layak untuk ditiru.

Jadi, tampaknya sekarang kita bisa menghentikan pertanyaan “Hah, nonton Spongebob ??? Gak salah tu?” Maksudnya disini bukan untuk mengajak kalian semua nonton Spongebob beramai-ramai menonton Spongebob (promosi mahal, euy), tapi mengajak kita semua untuk berpikir seperti Spongebob.