March 20, 2009

Perut Bumi

Suatu hari bumi mengeluh kepada bulan. ”Bulan, bagaimana menurutmu rupaku sekarang ?”

“Kau tampak tua dan lelah. Apa yang terjadi ?”

“Aku sudah lelah dengan hidup yang kujalani. Akhir–akhir ini, setiap jengkal tubuhku
habis tercabik-cabik oleh dentuman bom dan senapan mesin para penghuniku. Mereka seperti hewan yang tak berotak. Mereka saling menghabisi. Tolol, goblok, entah apa yang mereka pikirkan.”

“Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana?”

“Entahlah. Aku pun bingung. Hanya karena sebuah ideologi mereka sanggup menghabisi satu sama lain. Apa ya namanya? Oh ya, zionisme. Akhir-akhir ini kata itu selalu melekat di mimpiku. Membayangkannya membuatku tak bisa tidur. Kata yang memuakkan.”

“Apa sebenarnya zionisme itu?”

“Ideologi gila yang dicetuskan juga oleh orang gila. Aku sangat bingung jadinya. Mereka berencana melakukan hal yang aneh. Menyatukan sebuah etnis asli yang sangat pure.Emang mereka pikir kebun binatang, di mana hewan-hewan disatukan di satu tempat agar tak saling memangsa.”

“Tapi orang-orang tadi tidak berperang sendiri kan ?”

“Di dalam sana juga ada sebuah daerah. Palestina. Ya, Palestina. Mereka yang melayani negara zion tadi berperang.”

“Itu artinya yang bodoh bukan hanya zion, namun Palestina tadi juga bodoh.”

“Kenapa mereka bodoh. Mereka hanya ingin mendapat pengakuan atas wilayah mereka. Tampaknya hal yang mereka lakukan sudah benar.”

“Kau yakin sudah benar ? Setahuku, orang-orang di perutmu tadi sudah lama berperang.”

“Memang benar. Sejak zion tadi berdiri, perang terus bermunculan. Bahkan menimbulkan isu perang Islam-Zion. Mereka mulai membawa nama yang sacral itu ke dalam masalah mereka. Padahal awal segalanya adalah masalah wilayah.”

“Jadi, menurutmu siapa yang bodoh ?”

“Baiklah. Aku akan menurutimu. Mereka semua bodoh. Seharusnya mereka berhenti saja. Tak tahukah mereka bahwa aku sudah sangat lelah menampung kotoran mereka. Masih mending kalau mereka tahu berterima kasih. Tapi tampaknya sebaliknya. Mereka malah menghujani perutku dengan peluru, menghabisi alam perutku, memenuhi rongga tenggorokanku dengan gas-gas mereka yang beracun. Perih. Padahal mereka sudah pernah kuberi peringatan.Dengan amanat dari bos besar, kuciptakan gelombang yang sangat besar di wilayah bawah tubuhku. Tsunami. Tsunami namanya. Aku sangat senang menghadiahi mereka dengan nama itu. Sekedar memberi tahu bahwa aku sudah lelah dengan tingkh mereka. Aku sudah tidak sabar menunggu perintah selanjutnya dari bos besar. Dan aku harap perintah itu adalah mengosongkan perutku sampai isinya habis.”

No comments:

Post a Comment